Hari berganti hari, gak terasa idul fitri sudah dapat dua hari. Kayak baru kemarin berpuasa, tadi pagi sholat idul fitri. Dunia terus berjalan, demikian pula hari, umur, kematian dan hari raya. Kemarin, kini, esok tak sama. Lebaran dahulu jadi kenangan. Lebaran hari ini, timbul pertanyaan. “Kemana warga bersilaturrahmi?”.
Hari pertama lebaran cuaca cerah. Hari kedua hujan mengguyur kampungku. Dan senja pun berubah pucat kelabu. Tapi, seseorang berkata lirih, “Alhamdulillah riyo-royo hujan ”. Kutanya kenapa dia berkata begitu. “Karena ada keindahan di balik hujan,” jawabnya.
Hidup dengan keindahan mungkin sesuatu yang bisa menyebabkan kita bersyukur, merasa cukup, tanpa menjadi serakah. Hidup itu bergerak di dalam, jauh, seperti tatkala kita mendengarkan perubahan suara gerimis. Oh ya, aku ingat pernah baca di Jepang kuno konon seorang daimyo biasa menjamu seorang tamunya dengan bersama-sama menyaksikan fajar.
Dan kemudian sang tamu, seorang samurai tentu, akan berkata, “Terimakasih atas fajar itu.”. Di hari raya, guyuran hujan deras, sebagian orang malah banyak kurang waras. Semalam kulihat bintang di kejauhan sinarnya redup tertutup awan, sepertinya ia menangis sendu merawan melihat hari raya jarang orang beri uang.
Hujan itu harapan petani, namum di malam takbiran, hari ngelencer, hujan seperti kejadian yang mengejutkan banyak orang. Seperti tak terima hari raya dislimuti kabut mendung dan guyuran hujan.
Aku sering mendengar omongan warga seperti ini “ojo udan riyo-riyo”. “Lalu lak udan terus nyapo?” Batinku. “Dadi sepi suasanane!” Jawaban suara batin itu.
Kado terindah puasa Ramadhan orang dewasa di kampung versi zaman sekarang menurutku bukan baju baru, sandal baru atau sarung baru. Moment semarak dan keramaian jadi tolak ukur dan perbandingan lebaran lalu, kini dan bahkan tahun depan.
Obrolan nglencer tak jauh dari kata “ riyoyo sak iki sepi, teko tahun lalu” dan begitu sebaliknya. Tahun ini, jadi perbandingan tahu lalu. Tahun-tahun lama juga kebagian ceritanya, kembali mengolah daya ingatnya untuk mengenang masa lebaran zaman bahenol.
Zaman manusia puba dulu dan belum mengenal teknologi internet/hp, tranding topiknya lebaran adalah silaturahmi. Viralnya, suguhan jajan terenak. Tak ketinggalan ngegosip soal obrolan “berapa sangumu?” Aku pernah berada pada zaman itu. Masa orang senang bersilaturahmi, suka bawa jajan tanpa sepengetahuan, dan sangu jadi harapan.
Kini zaman tak sama. Tradisi itu terputus oleh kondisi dan situasi. Termasuk hari ini. Makin jauh lebaran menurutku akan berkaleborasi dengan teknologi. Semua mungkin berganti digital, dan tak lagi manual. Silaturahmi cukup melalui whatshapp, parcel, makanan lewat jasa pengiriman. Teknologi itu merubah cara pandang tradisi orang, kini dan masa datang.
Dampaknya sudah kerasa, dua hari ini di lokasiku tanda-tanda perubahan itu belum tampak. Situasi masih sama dengan hari pertama lebaran. Sepi, sunyi. Aku kuatir, kalaborasi digital itu semakin nyata di depan mata. Manusia tinggal nunggu waktu. Aku termenung sendirian ditengah kesunyian.




