
Arah jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Susana belajar santri di sini nampak masih kosentrasi dengan pelajarannya. Angin diam-diam berhembus entah dari arah mana. Tiba-tiba gerimisi rintik-rintik membasahi bumi. Terdengar suara kurang lantang bercampur percikan hujan dari luar rumah “ Ayo berangkat”. Suara itu semakin lama kurang jelas karena guyuran hujan bertambah deras.
Malam semakin dingin, hujan juga gak nunjukkan tanda-tanda kapan akan reda. Persiapan berangkat ke Madiun belum seratus persen rampung. “Ayo gek ndang”. Ajak suamiku. “ini sudah hampir jam sembilan. Wes ditunggu Pak Jo”. Lanjut suami. Pak Jo adalah driver yang biasa nganterin Ketika berpergian jauh.
Sejurus kemudian, aku dan anakku Fatimah serta ibu bergegas menuju mobil. Suamiku yang sudah lama menunggu di dalam mobil kelihatannya sudah gak sabar untuk segera meluncur. Karena beliau sendiri kuatir mengantuk kalau berangkat terlalu malam. Meski bukan supir utama, setidaknya suami yang nyopirin dulu ke rumah Pak Jo. Rumahnya lumayan jauh, sekitar 13 kiloan dari sini.

Tepat pukul sembilan malam mobil melaju pelan-pelan meninggalkan rumah. Di depan pintu gerbang aku masih berhenti sejenak karena ada saudara juga ikut rombongan ke Madiun yaitu keluaga Dik Afif. Alhmdulilah tak butuh waktu lama menunggu, kemudian mobil meluncur ke rumah pak Jo. Setengah jam lebih perjalanan itu kami lalui hingga sampai ke rumah pak Jo.
Di sana pak Jo sudah menunggu di depan rumah. Seperti biasa setiap kami tiba pak Jo selalu senyum sambil mengeluarkan dalil andalannya “Alhamdulillah, sehat” begitu keyword pertama pak Jo walau aku sendiri belum bertanya tapi sudah menimpali seperti itu.
Perjalanan Panjang itu ku tempuh. Butiran air hujan menjadi teman kami selama bepergian. Aku berdoa mudah-mudahan tidak ada halangan dan hambatan berarti dalam perjalanan. Karena selama musim hujan ini biasanya di Gumitir sering terjadi bencana alam tanah longsor yang berakibat arus kemacetan mengular Panjang. Alhmdulillah itu tidak terjadi, sehingga rombongan kami berjalan mulus , sebab besok pagi kami harus sampai Madiun, karena acaranya dilaksanakan pagi hari.
Jam dua malam kami beristirahat sejenak di Leces, sembari merebahkan tubuh yang hamper 3 jam berada dalam mobil. Sang sopir juga kelelahan butuh usapan gizi dan tenaga. Di leces minum kopi, dan snack bisa ambil sendiri dan bayar sendiri tanpa penjual. Karena disana bertuliskan amal. Jadi siapun boleh ambil sesuai harganya dan langsung bayar ditempat yang telah disediakan.
Satu jam kami di leces, lalu melanjutkan perjalanan melalui jalur tol. Jalur ini memangkas jarak tempuh dari 5-6 jam menjadi 2 jam. Tergantung drivernya juga, yang gak suka ngebut, perjalanan lebih dari itu. Pak Jo tidak demikian. Ia selalu mengasah kaki diatas bumi seperti pesawat sedang terbang tinggi dengan laju seperti pesawat ultra sonik. Bikin penumpang termasuk aku kadang merinding melihat kecepatan rata-rata di jalan tol lebih dari 170 km/per jam.

Sebelum sampai di Madiun, rombongan kami sholat subuh di rest area Jombang kemudian melanjutkan perjalanan kembali hingga sampai di Madiun sekitar pukul setengah enam. Di Madiun kami tidak langsung menuju lokasi tapi sarapan dulu ke rumah makan khas Madiun yaitu Pecel Madiun.
Setelah sarapan kami meluncur ke lokasi acara dan disambut tuan rumah. Disana aku sedikit asing karena banyak wajah-wajah baru. Maklum acara Bani Bari adalah reoni keluarga mbah suamiku dari pihak perempuan. Sehingga tak begitu mengenal lebih detail nama dan alamatnya. Acara semacam ini juga masih berlangsung beberapa pertemuan. Terakhir dirumahku empat tahun lalu sebelum wabah Covid melanda Indonesia.
Reoni Bani Bari sempat vakum selama Korona melanda, ketambahan penggagas KH Suriani Wafat secara mendadak tahun 2020 karena kelelahan selepas pulang dari Malang acara toriqohan. Aku kira reoni Bani Bari bakalan hilang di telan bumi dan habis masanya. Obrolan dan sambung silaturrohmi di media groups WA berjudul Eyang Bari tak satupun ada kiriman masuk di groups yang dibuat tahun 2020 itu. Semua vakum, dan aku anggap ini sudah selesai.
Sejak syawalan kemarin baru Kembali ada postingan meluncur di groups Eyang Bari menginfokan akan ada pertemuan reoni Eyang Bari di Madiun. Undangan itu sudah lebih dari dua minggu bersarang di groups WA Eyang Bari. Hanya saja ibuku belum membuka informasi tersebut. Baru kurang empat hari ibuku dapat tlp dari panitia mengabarkan perihal acara akan dilaksanan besok Rabu. Gayung pun bersambut dengan gagap dan gempita. Gagap karena merasa dapat info mendadak, dan bagaimana harus menyikapinya. Antara hadir dan tidak menjadi obrolan dirumah kami. Sehingga diputuskan untuk menghadiri karena pihak panitia mengharapkan kehadiran keluarga Banyuwangi. Acara itu juga momentum untuk saling menyapa, saling mengenal antara satu kelurga dengan keluarga lainnya sejak empat tahun lalu terkahir pertemuan keluarga Eyang Bari.

Di tempat tuan rumah, aku dan rombongan istirahat sejenak karena acara dimulai sekitar pukul sepuluh siang. Suami ngobrol dengan saudara-saudara, aku dan lainnya mandi ada pula yang tidur diruangan khusus buat kami. Beberapa alumni pesantren Persen datang ingin hormat kepada kami. Karena di desa situ ada beberapa alumni Persen saat ini sudah mengabdikan diri ditengah-tengah masyarakat.
Tibalah acara inti reoni Bani Eyang Bari. Sejumlah saudara dari trah Eyang Bari hadir. Aku gak begitu tahu menyeluruh siapa saja dari mana dan lainnya. Aku sedikit mengenal dari keluarga almarhum Kh Suriani yang ikut hadir dalam acara siang itu. Seperti Gus Wahid dan istri, adik dan istri almarhum. Sementara suamiku memberikan mauidhoh hasanah kemudian disambung oleh Kiyai Amin Thohari.
Hinngga dhuhur acara itu berakhir dan dilanjutkan deng an mushofahah Bersama.
*****
Setelah acara, rombongan kami diaturi mampir ke kediaman almarhum kh Soryani. Disana katanya suamiku dapat wasiat dari almarhum untuk menyerahkan kitab yang dititipkan putra beliau.
Sesampainya di kediaman beliau kulihat bangunan Gedung berkembang pesat, santri juga semakin banyak. Unit Pendidikan sekarang lengkap. Dalam benakku pesantren ini tumbuh baik dari tahun ke tahun. Salahsatunya karena totalitas dari keluarga beliau untuk melanjutkan perjuangan almarhum. Ditunjang posisi putra sulung almarhum Gus Wahid yang saat ini duduk di dewan daerah, memungkinkan untuk moles bangunan menjadi lebih gampang.

Susuai dengan amanatnya, suamiku akhirnya menerima kitab foto kopiyan setebal 50 halaman. Aku penasaran dengan isi kitab itu. Ternyata apa yang diberikan berisi ilmu-ilmu hikmah. Seperti cara mengobati penyakit mag, menangkal santet, pengasihan dan banyak lagi. Semua ditulis menggunakan arab jawa. Bagi Pak Lek yang ikut dalam rombongan, katanya ini merupakan gerbong pintu untuk belajar menjadi seorang ahli hikmah, atau orang jawa bilang sebagai dukun.
Aku dan rombongan berada di sini cukup lama, mulai dari dhuhur hingga menjelang magrib. Mau pamitan sama tuan rumah tidak diperkenankan karena masih dimasakkan. Dalam tradisi pesantren gak afdol jika sowan tidak makan dulu. Setelah menikmati hidangan, lalu kami berpamitan, tepatnya sore sebelum magrib kami melanjutkan ke rumah alumni yang menunggu sudah sejak siang tadi.
Di kediaman Kang Syam begitu kami memanggilnya saat ini sudah ada beberapa majelis pendidikan yang ia kelola, salahsatunya tpq dan madrasah diniyah. kebetulan sedang memvondasi bangunan untuk madrasah diniyah. dengan kehadiran kami disana, beliau minta doa dan berkah agar pembangunan gedung madrasah diniyah bisa berjalan dengan lancar.
Setelah prosesi doa dan melihat bangunan yang sedang berjalan lalu kami pamitan menuju Geger Madiun ke rumah Lek Um. Beliau saudara tua yang masih hidup. Karena tak etis ke Madiun tanpa sowan ke kediaman beliau, selain diniatikan untuk silaturahmi. Juga bentuk adab anak muda kepada yang tua. Kedatangan kami tentu membuat beliau dan seisinya terhenyak kaget. Kami datang sengaja tanpa konfirmasi dahulu karena kuatir malah merepotkan. Kedatangan kami malam habis Isya itu aku lihat Lek Um sedang menonton televisi. Beliau begitu terhelak ketika kami serombongan tiba tanpa konfirmasi.

Dengan khas logat Madiun Lek Um bilang seperti mimpi tanpa konfirmasi. “Iki piye now kok gak enek tlp kate mrene”. Suamiku hanya tersenyum sambil menimpali ” Bem boten ngerepotne’.
Kami disitu istirahat sejenak sambil ngobrol dan nonton televisi. Ada pula yang mandi dan sholat jamak takhir . kemudian beberapa menit anak-anak dan putu beliau berdatangan satu persatu. Karena kurang persiapan beliau mengajak kami makan di kota Madiun sambil jalan-jalan ke alun-alun. setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami sekaligus berpamitan pulang sehabis dari makan dan jalan-jalan.
Beliau dibuat kaget kedua kalinya. Karena kami dianggap akan bermalam di kediaman beliau, karena besok suami masih ada acara rapat. maka bisa gak bisa kami harus cabut dari madiun malam itu.
Di kota Madiun kami diajak makan di Rumah Padang. Menunya lengkap, petugasnya juga berlagak seperti santri memakai kopyah dan sopan-sopan. setelah makan kami diajak jalan-jalan ke tempat wisata di dekat alun-alun kota Madiun yaitu wisata Pahlawan Street Center (PSC)Di sana banyak miniatur antik menyerupai bangunan legendaris seperti menara Efel, Kakbah, patung macan menyemburkan air seperti di singapura, kereta di jepang dll.






Kulinernya juga lengkap, sepanjang jalan menuju tempat itu kami melewati penjual makanan dan beberapa bazar dari lembaga pendidikan. keran kebetulan besok merupakan hari pendidikan nasional.
Kami berada di tempat itu sekitar satu jaman..dan langsung berpamitan cabut menuju banyuwangi. Karena kami besok masih ada agenda si Banyuwangi.




